Twitter: @FatinSL
Hub: @FatinLoverID
Showing posts with label Cerita Fatin Shidqia Lubis. Show all posts

Cerita Fiksi Fatin Shidqia: AntiKlimaks


Judul Cerita: Antiklimaks
Penulis: @OrangMars
Sumber Cerita: Marsfiction
Genre: Horror – Thriller


Spesial untuk ulang Tahun Fatin Shidqia Lubis yang ke- 17 tanggal 30 Juli 2013.



“Hallo?”

“Hai Tin. Gimana? Malem ini jadi datang kan?”

“Gugun?”

“Iya. Ini aku. Gimana? Jadi nggak?”

“Hmm.. gimana ya?”

“Loh.. kok gimana?”

“Hmm.. iya deh. Jam tujuh kan?”

“Nah gitu dong. Oke aku tunggu ya. Mama juga udah nggak sabar mau ketemu kamu. Aku jemput ya?”

“Mmm.. gak usah. Aku naik taksi aja.”

“Oke. Sampai nanti ya.”

Fatin hanya tersenyum kemudian mematikan sambungan telepon. Malam nanti adalah malam yang spesial. Ia diundang makan malam oleh sahabat baru sekaligus penulis favoritnya. Gugun pun juga mengidolakan Fatin sebagai penyanyi.  Sebenarnya Fatin sempat berfikir untuk tak jadi datang. Inis, sahabat Fatin yang rencananya ikut menemani, tak bisa datang karena flu. Fatin merasa tak enak hati kalau harus datang sendiri. Tapi, kapan lagi? Bertemu dengan seorang idola. Penulis muda ganteng yang sedang naik daun.

Namanya Gugun Wiguna. Di dunia kepenulisan, dia dijuluki si gagak hitam. Novel horor karangannya selalu jadi best seller. Tulisannya yang gelap dan getir. Cerita-cerita hitam yang menakutkan. Kisah pembantaian, pembunuhan, adegan-adegan sadis yang kadang membuat pembaca merasa mual. Tapi itulah yang justru mengangkat namanya. Rangkaian cerita yang begitu detil. Bagaimana tetes demi tetes darah itu merasuk ke dalam ruang imajinasi pembaca. Mereka seakan menyaksikan. Serasa menjadi pelaku sekaligus korban dalam cerita-cerita tersebut.


***************

Secara penampilan memang tak ada yang menyangka kalau Gugun-lah sang penulis di balik novel-novel sadis itu.  Ia terlalu rapi untuk seorang penulis apalagi novelis horor. Kulitnya putih bersih. Wajahnya tampan. Rambutnya cepak dan berkacamata. Ia lebih mirip pemain sinetron atau bintang iklan.

Tapi, Gugun memang sedikit terkesan misterius. Para wartawan tak pernah diperbolehkan datang apalagi diundang ke kediamannya. Tak ada yang boleh meliput keluarganya atau sesiapa yang ada di rumah itu. Ini semakin membuat Fatin penasaran sekaligus kebanggaan untuk bisa datang dan makan malam di sana.

***************

Fatin memencet bel. Gerimis mulai turun. Sedari tadi, Jakarta memang dinaungi mendung. Tak lama seseorang  membukakan pintu. Bukan Gugun melainkan seorang wanita tua yang renta. Ia tersenyum datar dan mempersilahkan Fatin masuk. Tidak seperti yang ada di pikiran Fatin. Tak ada sambutan yang meriah dan hangat. Rumah ini sepi-sepi saja.

“Nenek…..?”

“Iya. Saya neneknya Gugun.”

“Ooo. Oh ya, Gugun-nya mana ya nek?” Tanya Fatin mencoba ramah.

“Dia di ruang bawah tanah.”

“Bawah tanah?? Ngapain nek?”

“Ya nulis lah. Dia kan penulis.”

“Iya tapi kok di bawah tanah?”

“Sudah kamu jangan banyak tanya. Tunggu saja. Sebentar lagi dia selesai.”

Fatin sedikit terkejut dengan kata-kata yang dilontatkan wanita tua itu. Tapi ia mencoba maklum. Mungkin karakter nenek Gugun memang seperti itu.

Rumah itu sepi dan sunyi. Tak ada suara TV atau suara-suara yang lain. Tak tampak orang tua Gugun atau saudara-saudaranya.

Sembari menunggu Gugun, Fatin memilih melihat foto-foto yang terpajang di sepanjang dinding rumah berlantai tiga itu. Sebuah foto keluarga berukuran besar menarik perhatian Fatin. Ada yang aneh dan ganjil. Semua orang di dalam foto itu terlihat murung kecuali Gugun dan neneknya. Ayahnya, ibunya dan tiga orang saudaranya yang lain tampak sedang sedih saat foto itu diambil.

“Mbak.”

Fatin tiba-tiba dikagetkan dengan suara seseorang tepat di belakangnya.

“Iya.”

“Mas Gugun ada di bawah. Mbak susul aja. Soalnya mas Gugun kalo nulis kadang bisa lama.”

“Oh..  gitu ya. Lewat mana?”

“Di situ mbak.” Perempuan itu menunjuk ke arah sebuah lorong yang keliatan agak gelap.”

“Oh oke. Makasi ya. Oh ya kak, kakak siapanya Gugun?”

“Saya pembantunya mbak.”

“Ooh.. keluarga Gugun pada kemana ya kak?”

Perempuan itu tak menjawab apa-apa. Ia lalu buru-buru pamit ke belakang.

***************

Fatin menyimpan segala keheranannya dan spontan mengikuti lorong itu. Hanya lampu hias redup yang menerangi sepanjang sisinya. Di ujungnya, ada tangga memutar menuju ruang bawah tanah. Semakin ke bawah, jumlah lampu yang menerangi semakin sedikit. Semakin gelap dan redup.

Di tangga terakhir, Fatin mendapati sebuah pintu menuju ruangan tunggal yang keliatannya tak begitu besar. Entah kenapa Fatin ingin membuka pintu itu pelan-pelan. Ia tak ingin mengganggu konsentrasi Gugun.

Dengan sangat hati-hati, Fatin mengintip dari sedikit celah pintu yang sudah terbuka. Ia melihat seseorang sedang duduk di sebuah meja dengan laptop di atasnya. Di dalam, keadaannya sama saja. Hanya lampu bercahaya redup yang mengantung di langit-langit ruangan. Di tambah  cahaya dari nyala layar laptop. Itu Gugun. Ia tampak sibuk mengetik dan sesekali menghisap rokoknya dalam-dalam.

Tunggu….  apa itu?

Samar-samar Fatin menangkap gerak gerik seorang perempuan yang terikat kencang di sebuah ranjang. Mulutnya disumpal hingga yang terdengar hanya jeritan tertahan. Ia terus menggelinjang ketakutan. Entah apa yang dilakukan Gugun terhadapnya.

Fatin masih bertahan di posisinya. Jantungnya seakan berhenti berdetak menunggu apa yang mungkin akan ia saksikan. Pikirannya kacau. Tentang Gugun dan ruangan ini.

Gugun tiba-tiba berdiri dari bangkunya. Membuka laci dan mengeluarkan sebuah kotak berwarna hitam. Gugun membukanya pelan-pelan dan kemudian mengeluarkan isinya satu persatu. Itu terlihat seperti seperangkat pisau bedah. Namun ada juga benda-benda seperti tang dan obeng. Untuk apa semua itu? Imajinasi Fatin makin menghitam. Ia menajamkan penglihatannya.

Gugun mendekati perempuan itu. Di tangannya, sebuah pisau dan tang.
Perempuan itu terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya. Tangisnya deras dibalik suaranya yang tersumpal.

Perlahan-lahan Gugun mengiris daging pipinya. Memotongnya agak dalam kemudian mencabuti dagingnya dengan tang. Darah mulai mengalir kencang. Gugun melihatnya sebentar. Memperhatikannya dengan seksama kemudian kembali ke depan laptop. Gugun mengetik beberapa kalimat. Sesekali melihat ke arah si wanita yang masih menjerit-jerit kesakitan. Darah dari pipi si perempuan yang kini berlubang, mengalir deras hingga meleleh ke lantai.

Gugun kembali meninggalkan mejanya. Kali ini ia mengambil sesuatu di bawah ranjang. Fatin reflek menutup mulutnya kuat-kuat melihat Gugun menyalakan sebuah benda mirip mesin bor tembok. Perempuan di ranjang tampak meronta dengan sisa-sisa tenaganya.

Gugun membelai rambut perempuan malang itu. Ia juga mengelus keningnya. Kemudian Gugun menekan wajahnya dengan kuat dan mulai mengarahkan mesin bor ke bola matanya. Perempuan itu makin meronta. Mencoba melepaskan diri sebelum ujung bor itu mencapai korneanya.  Fatin tak berani melihat. Ia membuang penglihatan sembari sekuat tenaga menahan dirinya untuk tak menimbulkan suara.

Perempuan itu mengeluarkan erangan yang panjang. Mesin bor  menembus bola matanya hingga otak. Darah tampak berhamburan ketika mata bor itu masuk semakin dalam. Wajah Gugun tampak penuh cipratan darah.

“Prak”

Fatin sudah tak tahan. Ia menutup pintu dan segera berlari kembali ke lantai atas. Gugun mematikan mesin bornya. Ia sadar ada seseorang yang masuk diam-diam ke ruang kerjanya.



***************

Fatin dengan sekuat tenaga menaiki setiap anak tangga menuju lantai atas. Tangisnya tumpah seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia saksikan. Batinnya masih tak dapat mencerna jika semua novel sadis yang ditulis Gugun berdasarkan kisah nyata. Ia melakukan penyiksaan itu untuk kemudian ditulis dan diterbitkan. Mungkin inilah alasan kenapa setiap adegan sadis di novel Gugun terlihat begitu detil dan nyata.

Semua lampu padam saat Fatin berhasil mencapai lantai atas. Ia meraba-raba sakunya.

“Hape hape…. sial! Hape ku mana!?”

Fatin panik, sekitarnya gelap total. Ia berjalan perlahan sambil meraba-raba sekeliling. Ia tak mengerti kemana semua orang. Ibu Gugun? Adik-adiknya? Neneknya? Pembantunya? Kemana mereka? Pikiran Fatin benar-benar berkecamuk. Yang ia lakukan hanyalah bagaimana menemukan pintu depan dan keluar dari rumah ini.

“Fatin! Fatin! Itu kamu ya? Ha? Kamu sudah datang?”

Fatin mempercepat langkahnya saat dari kejauhan Gugun memanggil-manggil namanya.

Hujan turun semakin deras. Suara petir menggetarkan jendela-jendela. Kilat sesekali menembus kaca dan menerangi seisi rumah. Itu sedikit membantu Fatin mencapai pintu depan.

***************

Sosok itu tiba-tiba mencengkram leher Fatin saat pintu sudah terbuka. Fatin mencoba melepaskan diri. Sebuah cahaya kilat  membuat wajah sosok itu memantul jelas di bola mata Fatin.

“Nek.. akhh.. kenapa nek? Lepasin! Lepasin!”

Wanita tua itu hanya diam. Sorot matanya masih setajam tadi. Cengkraman tangannya semakin kuat. Fatin tak mengerti kenapa ia kalah kuat dengan wanita renta itu. Ia seakan tak berdaya.

Dan tiba-tiba…

Fatin merasakan sesuatu menghujam bagian tubuhnya dari belakang. Sebatang linggis besi menembus perutnya.  Darah segar menyembur deras dari mulutnya. Fatin terkapar, samar-samar ia melihat Gugun tersenyum lalu tertawa.

“Tin, kamu akan jadi bagian dari novel terbaruku hahaha.”

Pandangan Fatin semakin kabur lalu menghitam.

Sesaat kemudian….

Fatin dibangunkan oleh suara getar dan dering ponselnya.

“Astagfirullah. Huh! Mimpi! Ini cuma mimpi!”

Fatin mengusap wajahnya yang penuh keringat. Di layar ponsel nama Inis terlihat masih berkedip-kedip.

“Hallo Nis?”

“Lo kemana aja sih Tin dari tadi gue telponin.”

“Sorry.. sorry.. gue ketiduran.”

“Oh ya.. ntar malem gue kayaknya gak jadi ikut deh ketemu Gugun. Gue mendadak nggak enak badan nih Tin. Flu juga.”

“Ya udah deh. Lo istirahat aja. Nggak apa-apa kok.”

“Bener nih nggak apa-apa?”

“Iyaa.. Koalaaa…”

“Hehe.. ya udah.. bye yaa”

Fatin tercenung. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh. Kenapa semua ini berjalan seperti di dalam mimpinya? Inis tak jadi ikut karena flu. Dan…

Belum sempat berpikir lebih panjang, ponsel Fatin kembali berdering.

“Halo?”

“Hai Tin. Gimana? Malem ini jadi datang kan?”

“Gugun?”

“Iya. Ini aku. Gimana? Jadi nggak?”

Fatin mematikan sambungan telepon. Mendadak sekujur tubuhnya merinding. Badannya terasa lemas.
———- T    A    M    A    T———-
Cerita Fiksi Fatin Shidqia Lubis ~ Antiklimaks


Terimakasih banyak kepada Penulis : @OrangMars



Cerita Fiksi: Fatin X Factor


Judul Cerita: Fatin X Factor
Penulis: @OrangMars
Sumber Cerita: Marsfiction
Tanggal terbit: 25 Juni 2013



‘Dream, Believe and Make It Happen’
Tau slogan itu? Yap! itu slogannya Agnes Monica. Artinya, ‘bermimpi, percaya dan jadikan itu nyata’. Tapi tau nggak sih? Ternyata ada sedikit orang yang mengalami kebalikan dari slogan itu. Mereka mendapati kenyataan, mencoba untuk percaya dan masih merasa dirinya sedang bermimpi. Dan orang-orang ini memulai semuanya nggak pake mimpi duluan. Melainkan, cuman modal ‘kepo doang’.
——————–
“Hah? X Factor? Lo mau ikut audisi X Factor? Hahaha..”

“Iya. Lo napa ketawa siihh??”

“Eh Tin! Lo itu harusnya ikut acara World Record tuh yang di trans 7. Itu lho yang host-nya om Deddy Mizwar.”

“Deddy Corbuzier woy!”

“Ya whatever-lahh..”

“Emang.. gue punya rekor apaan coba??”

“Hmmm.. Siswi SMA yang tidur dikelas selama 4 semester! Wuahahahahaha!”

“Sialannnnn…!! “

Tuuuuuuutttttt……………

Fatin memencet tombol telepon warna merah di ponselnya berkali-kali. Obrolan itu harus segera diakhiri. Suara ngakak Vina sudah mulai mengancam kestabilan pendengarannya. Vina orangnya emang gitu. Kalau lagi ngakak, kadang terlalu menjiwai. Matanya melotot, badannya menggelinjang, air ludahnya berterbangan hingga radius puluhan meter.

“Apa iya gue udah ditakdirin jadi pendekar?” Bisik Fatin pelan. Bibirnya manyun satu inci. Matanya kini tertuju pada seragam karate plus sabuk hitam yang menggantung di dinding kamar.

 ——————–

Hari ini hari Rabu. Dan bel baru saja berbunyi. Sekolah hari ini diawali dengan mata pelajaran matematika. Mata pelajaran yang sering bikin otak siswa kelas XI IPS 5 ini mengalami yang namanya reaksi kimia. Imbasnya, mereka akan mengeluarkan asap hitam dari kepala. Di jam berikutnya, mereka dihajar lagi dengan pelajaran akuntansi. Kalau sudah begini, tinggal tunggu mayat-mayat berseragam tampak bergelimpangan. Mereka yang berhasil bertahan, akan terserang mimisan ringan. Bukan dari hidung tapi dari pori-pori kepala. Bagi Fatin sendiri, deretan angka dan rumus-rumus itu seperti mantra tidur. Otak kirinya langsung ngantuk kalau sudah main hitung-hitungan. Meskipun, ya meskipun ayahnya seorang guru matematika.

Di kelas ini siswanya memang terkenal random. Selain Fatin yang suka tidur, Vina yang ngakaknya angker, ada lagi yang namanya Wawan. Siapakah Wawan?

Kalau ada makhluk yang tidak disukai Fatin selain ikan, maka itu adalah Wawan. Sumpah! Bukan! Wawan bukanlah sejenis hewan invertebrata apalagi tumbuh-tumbuhan yang merambat. Dia adalah seorang…., mari kita sebut saja psikopat asmara. Apa itu psikopat asmara?

Kalau ada istilah populer yang bilang ‘cinta jadi benci’ maka itulah Wawan. Dulu sih dia cinta mati sama Fatin. Gara-gara ditolak, dia jadi psikopat asmara. Facebook Fatin di-remove, twitter Fatin di-unfollow, di-block walau kadang-kadang masih suka nge-stalk. Nggak heran kalau Wawan berani bertaruh Fatin nggak bakal lolos audisi X Factor.

“Eh ikan Patin.. lo denger ye.. kalo lo bisa lolos audisi, gue bakal ke sekolah pake lipstik selama sebulan!” Ledek Wawan.

“Pake lipstik doang? Dari dulu mah elo emang udah pantes ” Fatin balik meledek.

Wawan hanya tersenyum kemudian mendekati Fatin.

“Pake Rok juga..” bisik Wawan sebelum berlalu pergi.

——————-

“Ris.. gue mau ikut X Factor.”

“X Factor itu apaan yak? Gank motor ??”

“Iiihh.. bukan Ris.. itu kompetisi nyanyi kayak Indonesian Idol.”

“ooo.. emang lo bisa nyanyi?”

“Hmm.. selain bisa tidur dan bernafas, gue juga bisa nyanyi Ris.”

“Ah gue nggak setuju!” Faris menaruh sendok dan garpu di atas piringnya yang sudah kosong.

“Loh? Kenapa?” Fatin memasang wajah heran. Nggak sabar nunggu kata-kata berikutnya dari mulut Faris.

“Sorry, gue harus buru-buru balik ke kelas. PR gue belum kelar”

Faris tak berbasa-basi lagi. Meninggalkan Fatin di kantin yang mulai sepi.

Fatin diam. Menopang wajahnya dengan kedua tangan di atas meja. Ia tak habis pikir. Tidak biasanya Faris bilang nggak setuju tanpa alasan yang jelas.

Tunggu dulu.. Sebelum lanjut, mari berkenalan dengan Faris. Sudah 4 bulan ini Fatin jadian dengan Faris. Dia siswa dari kelas IPA. Di kelasnya, Faris terkenal pinter, rajin, ganteng dan selalu minta ijin ke tolilet kalau kebelet. Sayangnya kekurangan Faris itu, dia suka lupa………….

“Neng..”

Saat masih melamun memikirkan tingkah aneh Faris, tiba-tiba Fatin dikagetkan  suara yang sudah tak asing lagi baginya. Ya, itu suara Pak De yang punya kantin.

“Eh Pak De.. ada apa pak?”

“Begini ya neng…. Faris itu…”

“Stop pak.. stop.. Aku lagi nggak mau ngomongin Faris pak.. pleasee…” potong Fatin.

“Iya.. tapi.. maksud saya, Faris itu..”

“Ngeselin kan pak? Jahat kan dia? Masa dia nggak ngebolehin aku ikut X Factor? Bapak tau X Factor kan? Atau jangan-jangan bapak mau ikut juga ya? Fatin memotong ucapan Pak De untuk yang kedua kalinya.

“Bukan.. bukan itu. Bapak mau bilang kalau Faris itu belum bayar nasi gorengnya neng..”

“Oh… ehh..hmm..” Fatin kebingungan.

“Astagfirullah! Pak! Liat! Kompornya terbang tuh!” Fatin tiba-tiba menunjuk ke arah dapur.

Pak De kaget. Ia berdiri dan menoleh ke arah yang ditunjukkan Fatin.

“Mana neng?”

“Neng??”

“NENGG???”

Fatin menghilang.

Dia melarikan diri.

Ya.. Itulah kelemahan Faris. Dia suka lupa bayar kalau habis makan.

 ———————

Pagi ini Fatin senyam-senyum di depan cermin kamarnya. Hari ini dia akan mengikuti audisi X Factor. Tak ada yang spesial dari penampilannya. Seragam sekolah berhijab dilapisi sweater belang-belang. Dia akan ke sekolah dulu pagi ini. Mengikuti beberapa pelajaran sebelum minta ijin dari sekolah. Fatin juga berharap bisa ketemu Faris. Meminta penjelasan untuk yang terakhir kalinya.

Waktu berjalan begitu lambat merambat. Akhirnya jam istirahat tiba. Fatin sudah mendapatkan ijin dari sekolah. Ibunya juga sudah datang dari tadi. Faris? Dia Entah dimana. Fatin tidak menjumpainya di kelas dan di kantin. Tak cukup waktu lagi untuk mencarinya. Fatin hanya bisa berharap Faris sudah berubah fikiran. Meskipun Fatin merasa sudah punya cukup dukungan dari keluarganya, tapi segaris senyum Faris sebelum berangkat audisi, tentu punya arti yang berbeda.

Detik pun menjadi menit. Menit demi menit menjadi putaran jam. Sekolah sudah bubar untuk hari ini. Faris menunggu dengan gelisah di kamarnya. Entah apa yang ada dipikirannya.

Sempat terlelap, Faris dikagetkan suara getaran dari atas meja. Ada nama Fatin yang berkedip-kedip di layar ponselnya.

“Hallo?”

“Ris.. aku lolos.. aku lolos,” jerit Fatin di seberang saluran telepon.

“Oh ya?” basa basi Faris.

“Iya! Empat jurinya bilang yes.”

Faris hanya diam. Perlahan-lahan menjauhkan ponsel dari telinganya.

“Ris? Hallo.. Ris??

Telepon terputus.

——————–

Hari ini hujan. Fatin duduk di hadapan Faris yang sedang asyik menyantap makan siangnya di kantin. Fatin hanya diam saja. Mencoba sabar menunggu Faris menyelesaikan ritual mengisi perutnya.

“Jadi gimana?” Faris membuka pembicaraan.

“Gimana apanya?”

“Ya, kelar audisi mau ngapain lagi?”

“Ooo.. habis ini pesertanya disaring lagi kok.”

“Lo pasti lolos.”

“Hahaha.. sok tau lo.”

“Lo bakal jadi juaranya Tin.”

“Ris.. Lo baik-baik aja kan? Kepala lo tadi nggak habis kebentur aspal kan?”

Faris tak menjawab. Ia menaruh sendok dan garpunya pelan-pelan.

“Ris.. gue emang pengen jadi penyanyi. Tapi gue nggak pernah mimpi Ris. Gue yaa.. gue yang ini. Yang suka kepo. Gue ikut audisinya cuman pengen tau doang. Pentas gue itu cuman di kamar mandi. Lo juga pernah bilang kan kalau suara gue itu aneh? Iya kan? Hahaha..”

“Justru aneh-nya itu yang bakal bikin lo menang.”

Fatin menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengeluarkan suara tawa yang tertahan.

“Gue takut lo menang Tin. Lo bakal jadi artis. Lo bakal terkenal. Gue takut kalau pada akhirnya gue cuman jadi sampah di kehidupan baru lo.”

“Heh! Lo kesurupan iblis apaan sih Ris?”

Faris hanya tersenyum. Tanpa kata-kata lagi, ia segera berlalu pergi. Punggungnya begitu cepat menghilang dibalik lalu lalang siswa-siswi lain. Dan kemudian……………

“Neng. Si Faris…..”

“Ah.. suara itu…” pekik Fatin dalam hati.

Benar saja. Pak De tiba-tiba sudah berdiri di samping Fatin.

“Pak! Lihat! Kompor terbang kemaren balik lagi pak!” Fatin dengan mimik serius menunjuk ke arah dapur.

Pak De kaget. Lagi-lagi dengan spontan ia berlari ke arah dapur.

“Nggak ada neng.”

“Neng?”

“Neng??”

 ——————–

7 Bulan kemudian……

“Dan pemenang X Factor season pertama adalah……..” Robby Purba, host ternama X Factor kembali mengulang kata-kata itu entah untuk yang keberapa kalinya. Semua penonton di studio dan di rumah dibuat tegang. Warung-warung, mall, rumah sakit, sampai pos satpam begitu mencekam. Ada penonton yang terserang diare, mimisan, bahkan mendadak panuan saking tegangnya.

“Fatin selamat! Kamu menjadi juara X Factor season pertama!!!” Teriak Robby Purba histeris.

Suasana pecah. Sorak sorai membahana. Ketegangan mencair. Fatinistic saling berpelukan, jomblo-jomblo nembak gebetan, Ibu-ibu hamil melahirkan, yang tadinya musuhan jadi baikan, yang udah lama putus minta balikan, dan para banci melakukan pertobatan.

 ——————–

Fatin memasuki gerbang sekolah untuk yang pertamakalinya sejak 7 bulan terakhir. Para wartawan tampak berebutan menggambil foto. Guru-guru dan para siswa sudah ramai menunggu di halaman. Ada yang membawa spanduk, poster, atau hanya selembar kertas bertuliskan, ‘Polbek Eaa qAqA’.

Mata Fatin kemudian menjelajahi setiap sudut bangunan sekolah yang dirindukannya. Sorak sorai ini terlalu asing baginya. Ini masih seperti mimpi. Orang-orang yang dulu hanya bisa mengejek, kini sibuk memuji. Yang dulunya meremehkan, sekarang mengelu-elukan.

Dari kejauhan, Fatin melihat Faris menatapnya di antara kerumunan. Mata mereka bertemu dan sejajar. Saling menunggu siapa yang tersenyum duluan. Meski pada akhirnya, mereka malah tersenyum berbarengan. Senyuman yang mengisyaratkan bahwa semuanya baik-baik saja.

Dan tiba-tiba…..

Fatin di kagetkan dengan seorang siswi yang berlari brutal ke arahnya. Lipstiknya tebal. Sepatunya pink. Roknya tidak simetris. Ingusnya bercucuran. Berlarian sambil menjerit histeris. Fatin menajamkan penglihatannya. Mencoba mengenali raut wajah yang sungguh tak asing lagi baginya.

“Wawan!??”, seru Fatin sambil memasang kuda-kuda.

“BUUGGHH!!!!”
———- T    A    M    A    T———-


Terimakasih kepada penulis : @OrangMars

25 Juni 2013

Cerita Fiksi ini hanyalah karangan semata dan bukan kejadian yang sebenarnya. Persembahan untuk Fatin Shidqia dan Fatinistic di seluruh dunia. Semoga terhibur.
Best Blogspot Templates 2013